Nama : Dian Wahyudin
NPM : 23414006
Kelas : 2IC08
HUKUM
PACARAN MENURUT ISLAM
(penjelasan
mengenai sebab diharamkannya pacaran)
Istilah pacaran itu sebenarnya bukan
bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang.
Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan
menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.
I. Tujuan Pacaran
Ada beragam tujuan orang berpacaran.
Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat
mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran
sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.
Namun tidak semua bentuk pacaran itu
bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang
lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan,
usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga,
mereka sangat belum siap.
Secara lebih khusus, ada yang
menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan
sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu
dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan
itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak
dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya.
Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai
bagian dari aktifitas yang normal.
II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran
?
Lepas dari tujuan, secara umum pada
saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa
penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang
ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan,
jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota
tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.
Sehingga kita juga sering mendengar
istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk
menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai
tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan
tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan
tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short
time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi
para pasangan di luar nikah.
Pihak pengelola hotel sama sekali
tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau
bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.
Selain di hotel, aktifitas
percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam
rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar
dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di
dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari
anggota keluarga lainnya.
Data menunjukkan bahwa seks di luar
nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa,
namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga
terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan
hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan
maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.
Fakta dan data lebih jujur berbicara
kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan
mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri
ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan
penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau
mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks
bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru
akan diberi simpati.
III. Pacaran Dalam Pandangan Islam
a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta
yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu
adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan
lain-lainnya.
`Dijadikan indah pada manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam
menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik,
bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh
dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi
kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang
paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya
(istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.
b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada
Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta
kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua
sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah
cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam
adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau
digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS,
chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan
pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih `keren`nya, ucapan
janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung
wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan
melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi
pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi
`pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari
bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang
laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang
wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki
itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali.
Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real
man”.
Dalam Islam, hanya hubungan suami
istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada
birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar
nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan
hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan
perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun
karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok,
akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan
perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang kita
lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan
pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh
dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang
nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini
memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru
merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau
pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu
kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa
kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas
pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa
pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah
cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu
di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS,
chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.
Semua bentuk aktifitas itu
sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan
bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui.
Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian
tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu adalah memiliki,
tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran,
semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu
sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan /
Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu
dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau
mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang
benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran
sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup,
Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu
diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal
itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa
Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2]
keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya
kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700,
Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam
membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal
yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang
bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga
menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam
Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan
berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan
sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang
terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam
kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi
bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu
dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang
mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi
sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang
kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu
tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan
demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa
dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran bila kita dapati
pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum
lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan
membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan
ajang kencan saja.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar